Kamis, 02 Desember 2010

Keistimewaan Yogya Kultural, Bukan Politis

Istilah 'monarki' yang dilontarkan Presiden SBY terus memicu polemik yang luas.

VIVAnews - Pro dan kontra terus bermunculan terhadap Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta. Istilah 'monarki' yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memicu polemik.

"Keistimewaan Yogyakarta itu kultural. Itu tidak politis," kata Guru Besar di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Djoko Suryo, dalam perbincangan dengan VIVAnews.com.

Menurut Djoko, Raja Yogyakarta sudah mengikuti aturan seperti yang sudah dijalankan kepala pemerintahan daerah lainnya atau gubernur. Sistem kerajaan yang ada di Yogyakarta itu bukan merupakan monarki absolut, melainkan monarki konstitusional. "Kepala pemerintah daerah tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan," ujar doktor dari Monash University, Australia ini.

Pada Jumat lalu, Presiden SBY menyampaikan pengantar dalam rapat terbatas membahas persiapan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang kini menuai pro-kontra yang luas. SBY menyatakan, sistem monarki jangan sampai berbenturan dengan konstitusi dan demokrasi. Keesokan harinya, Sri Sultan Hamengku Buwono X menggelar jumpa pers, khusus untuk mempertanyakan maksud di balik pernyataan SBY.

Djoko mengkhawatirkan adanya aroma Orde Baru dalam wacana penyeragaman sistem pemerintahan di seluruh daerah. Menurut dia, ini terjadi seperti di era Soeharto yang menginginkan semua wilayah di pedesaan dijadikan kelurahan. "Itu akhirnya merusak tatanan tradisi adat. Di Minangkabau itu tidak mengenal Pak Lurah, tapi Dato. Belum lagi di Papua," katanya. (kd)

sumber dari VIVAnews

Tidak ada komentar: